Kamis, 06 April 2017

KRISIS FINANSIAL ASIA 1997
Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand (dikenal dengan nama krisis Tom Yam Gung di Thailand; Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh. Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun, bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis.

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Cina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, namun sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang-PDB asing naik dari 100% menjadi 167% di empat negara ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang-ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.

Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai $40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan massa yang memprotes kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih.Setelah krisis tahu 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan.

Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai "keajaiban ekonomi Asia".

Gelembung kredit dan nilai tukar tetap
Penyebab krisis ini masih diperdebatkan. Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh dana panas. Seiring membesarnya gelembung, semakin banyak pula dana yang diperlukan. Situasi serupa terjadi di Malaysia dan Indonesia melalui "kapitalisme kroni".Arus modal jangka pendek mahal dan dirancang untuk meraup untung cepat. Dana pembangunan tersalurkan secara tak terkendali ke orang-orang tertentu saja, bukan orang yang pantas atau layak, melainkan orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit akun berjalan swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar keterpaparan risiko valuta asing di sektor keuangan dan perusahaan.

Pada pertengahan 1990-an, serangkaian goncangan luar negeri mulai mengubah tatanan ekonomi. Devaluasi renminbi Cina dan yen Jepang setelah Perjanjian Plaza 1985, kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang memperkuat nilai dolar A.S., dan penurunan harga semikonduktor menghambat pertumbuhan ekonomi. Seiring pulihnya ekonomi Amerika Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga A.S. untuk menurunkan inflasi.

Keputusan ini menjadikan Amerika Serikat negara yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Asia Tenggara. Asia Tenggara menerima arus dana panas berkat suku bunga jangka pendek yang tinggi dan tingginya nilai dolar Amerika Serikat. Bagi negara-negara Asia Tenggara yang mata uangnya dijangkarkan ke dolar A.S., nilai dolar A.S. yang lebih tinggi membuat harga barang ekspornya lebih mahal dan kurang bersaing di pasar global. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi akun berjalannya.

Sejumlah ekonom menyebut pertumbuhan ekspor Cina sebagai salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor negara-negara ASEAN. Namun demikian, para ekonom yang sama juga menyebut spekulasi properti berlebiihan sebagai penyebab utamanya. Cina mulai bersaing secara efektif dengan negara-negara pengekspor di Asia pada tahun 1990-an setelah diterapkannya beberapa reformasi berorientasi ekspor. Ekonom lainnya mempertanyakan dampak Cina dan mengatakan bahwa ASEAN dan Cina mengalami pertumbuhan ekspor yang pesat pada awal 1990-an.

Banyak ekonom yang meyakini bahwa krisis Asia tercipta bukan karena psikologi pasar atau teknologi, melainkan kebijakan yang mengubah insentif dalam hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Besarnya pinjaman yang tersedia lewat kebijakan ini menciptakan ekonomi yang nilainya sangat terdongkrak (leveraged). Harga aset pun naik ke tingkat yang sangat rentan. Harga aset akhirnya jatuh dan membuat individu dan perusahaan tidak mampu membayar obligasi utang.

Kepanikan pemberi pinjaman dan penarikan kredit

Kepanikan yang terjadi di kalangan pemberi pinjaman memicu penarikan kredit besar-besaran dari negara yang mengalami krisis. Tindakan ini mengakibatkan penyusutan kredit dan kebangkrutan. Selain itu, ketika investor asing berusaha menarik uangnya, pasar valas dibanjiri oleh mata uang negara yang mengalami krisis sehingga memaksa depresiasi terhadap nilai tukarnya. Demi mencegah jatuhnya nilai mata uang, negara-negara yang mengalami krisis menaikkan suku bunga dalam negeri sampai puncaknya (mengurangi pelarian modal dengan membuat pemberian pinjaman lebih menarik bagi investor) dan turun tangan mencampuri pasar valas, membeli mata uang domestik berlebih apapun dalam nilai tukar tetap dengan cadangan valuta asing. Tak satu pun kebijakan yang dampaknya bertahan lama.

Selain mengacaukan ekonomi yang sehat-sehat saja, suku bunga terlampau tinggi juga mampu mengacaukan ekonomi negara rapuh. Di sisi lain, bank sentral semakin kehabisan cadangan mata uang asing yang jumlahnya terbatas. Ketika semakin jelas bahwa arus keluarnya modal dari negara-negara tersebut tidak dapat dihentikan, pemerintah menghentikan penerapan nilai tukar tetap dan mengizinkan mata uangnya mengambang. Nilai mata uang yang terdepresiasi berarti bahwa utang bermata uang asing terus bertambah dalam nilai mata uang nasional. Hal ini memicu kebangkrutan dan memperparah krisis.

Ekonom seperti Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs mengabaikan peran ekonomi riil dalam krisis ini dibandingkan dengan pasar keuangan. Laju cepat krisis ini membuat Sachs dan ekonom lainnya membandingkannya dengan fenomena penarikan massal (bank run) yang dipicu oleh goncangan risiko mendadak. Sachs menyalahkan kebijakan moneter ketat dan kebijakan kontraksi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah atas saran IMF setelah krisis, sedangkan Frederic Mishkin menyalahkan informasi asimetris dalam pasar keuangan yang menciptakan "mental ikut-ikutan" di kalangan investor yang membesar-besarkan risiko kecil dalam ekonomi riil. Krisis ini menarik perhatian para ekonom perilaku yang sedang mempelajari psikologi pasar.

Salah satu dugaan penyebab goncangan risiko yang mendadak adalah penyerahan kedaulatan Hong Kong tanggal 1 Juli 1997. Sepanjang 1990-an, dana panas masuk Asia Tenggara lewat penghubung keuangan seperti Hong Kong. Para investor abai dengan profil risiko negara tujuan investasinya. Setelah krisis menerpa kawasan tersebut, diperparah dengan ketidakpastian politik terkait masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia, banyak investor yang memutuskan untuk keluar dari Asia. Menyusutnya investasi malah memperparah kondisi keuangan di Asia dan mendorong depresiasi baht Thailand pada tanggal 2 Juli 1997.

Ada beberapa studi kasus terkait topik ini, misalnya penerapan analisis jaringan sistem keuangan yang menjelaskan kesalingterhubungan pasar keuangan dan pentingnya kelayakan penghubung atau titik utama. Eksternalitas negatif apapun di dalam penghubung menciptakan riak yang bergerak ke seluruh sistem keuangan dan ekonomi .

Menteri luar negeri dari 10 negara ASEAN yakin bahwa manipulasi mata uang direncankaan dengan sengaja untuk menggoyahkan ekonomi ASEAN. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menuduh George Soros mengacaukan ekonomi Malaysia melalui "spekulasi mata uang besar-besaran". Soros mengaku membeli ringgit saat nilainya jatuh dan melakukan jual kosong pada tahun 1997.

Pada Pertemuan Menteri ASEAN ke-30 di Subang Jaya, Malaysia, tanggal 25 Juli 1997, menteri luar negeri seluruh ASEAN mengeluarkan deklarasi bersama yang meminta penguatan kerja sama ASEAN untuk mempertahankan dan mengutamakan kepentingan ASEAN di bidang ekonomi. Pada hari yang sama, kepala bank sentral dari seluruh negara yang terdampak krisis bertemu di EMEAP (Executive Meeting of East Asia Pacific) di Shanghai. Mereka gagal menyepakati New Arrangement to Borrow. Satu tahun sebelumnya, menteri keuangan dari negara-negara yang sama menghadiri pertemuan menteri keuangan APEC ke-3 di Kyoto, Jepang, tanggal 17 Maret 1996. Menurut deklarasi bersama tersebut, mereka tidak mampu menggandakan jumlah dana cadangan General Agreements to Borrow dan Emergency Finance Mechanism.

Krisis ini dapat dipandang sebagai kegagalan membangun kapastias untuk mencegah manipulasi mata uang. Hipotesis ini tidak banyak didukung oleh para ekonom. Mereka berpendapat bahwa tak satu investor pun yang mampu memengaruhi pasar dengan cara memanipulasi nilai mata uang. Selain itu, butuh perencanaan yang sangat besar untuk menarik investor dari Asia Tenggara agar bisa memanipulasi nilai mata uangnya.

1 komentar:

  1. Halo Semua, nama saya Jane alice seorang wanita dari Indonesia, dan saya bekerja dengan kompensasi Asia yang bersatu, dengan cepat saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua orang Indonesia yang mencari pinjaman Internet agar berhati-hati agar tidak jatuh ke tangan penipu dan fraudstars banyak kreditur kredit palsu ada di sini di internet dan ada juga yang asli dan nyata,

    Saya ingin membagikan testimonial tentang bagaimana Tuhan menuntun saya kepada pemberi pinjaman sebenarnya dan dana pinjaman Real telah mengubah hidup saya dari rumput menjadi Grace, setelah saya tertipu oleh beberapa kreditor kredit di internet, saya kehilangan banyak uang untuk membayar pendaftaran. biaya. . , Biaya garansi, dan setelah pembayaran saya masih belurrm mendapat pinjaman saya.

    Setelah berbulan-bulan berusaha mendapatkan pinjaman di internet dan jumlah uang yang dihabiskan tanpa mendapat pinjaman dari perusahaan mereka, maka saya menjadi sangat putus asa untuk mendapatkan pinjaman dari kreditor kredit genue online yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya jadi saya memutuskan untuk Hubungi teman saya yang mendapatkan pinjaman onlinenya sendiri, kami mendiskusikan kesimpulan kami mengenai masalah ini dan dia bercerita tentang seorang pria bernama Mr. Dangote yang adalah CEO Dangote Loan Company.

    Jadi saya mengajukan pinjaman sebesar (Rp400.000.000) dengan tingkat bunga 2% rendah, tidak peduli berapa usiaku, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya inginkan adalah membangun bisnis saya dan pinjaman saya mudah disetujui. Tidak ada tekanan dan semua persiapan yang dilakukan dengan transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah mendapatkan sertifikat yang diminta dikembalikan, maka uang pinjaman saya disimpan ke rekening bank saya dan mimpiku menjadi kenyataan. Jadi saya ingin saran semua orang segera melamar kepada Mr. Dangote Loan Company Via email (dangotegrouploandepartment@gmail.com) dan Anda juga bisa bertanya kepada Rhoda (ladyrhodaeny@gmail.com) dan Mr. jude (judeelnino@gmail.com) dan Juga Pak Nikky (nicksonchristian342@gmail.com) untuk pertanyaan lebih lanjut

    Anda juga bisa menghubungi saya melalui email di ladyjanealice@gmail.com

    BalasHapus

KRISIS EKONOMI DI AMERIKA SERIKAT

1.1    Latar Belakang Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara adidaya merupakan salah satu Negara maju yang perekonomian negaranya ...