Kamis, 06 April 2017

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA PADA ZAMAN ORDE BARU


KRISIS EKONOMI DI INDONESIA


A. Krisis Ekonomi di Zaman Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila) 
     Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November 1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi.

Kerusuhan serta penjarahan massal menjadi sejarah kelam Indonesia

Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Krisis Moneter, Indikatornya :
    a. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat,
    b. Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative,
    c. L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional,
    d. Uang beredar terus meningkat.
2. Krisis Perbankan, Indikatornya :
    a. Likuidasi bank ditutup,
    b. Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank,
    c. Bank beku operasi dan bank take over,
    d. Utang luar negeri yang membengkak,
3. Krisis Ekonomi, Indikatornya :
    a. Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
    b. Stagnasi di sector riil
    c. Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
    d. PHK di berbagai sector riil.
                Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama. Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966. Selain itu, buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987). Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972. Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978. Bulan September 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet, serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.
       Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.



        Bank yang baik.Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketikarupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengPada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektoran pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
      Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang ‘pulang kampung’. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di dunia yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang terjadi. Berikut rangkumannya seperti dikutip :
1. Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)
      Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu. Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang membuat rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar,” tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.
2. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250
           Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu ‘perkasa’ terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp 13.250/US$.
3. Dollar menyentuh Rp  14.300
         Pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai melorotnya nilai tukar rupiah hingga di atas 14.000 per dollar AS tak hanya disebabkan faktor eksternal tetapi juga internal. Menurutnya, faktor internal tersebut yaitu belum dipercayainya tim ekonomi pemerintah oleh pasar.
"Tim ekonomi pemerintahah baru yang tidak bisa meyakinkan publik dan pasar secara khusus. Dengan tim seperti ini meskipun pemilu berhasil dan ekonom-ekonom bilang rupiah akan kuat menjadi Rp 10.000 per dollar AS apabila Jokowi terpilih, tetapi karena tim ekonomi tidak meyakinkan maka rupiah terus merosot," ujar Didik saat dihubungi Kompas.com, Senin (24/8/2015).
Selain itu, respons pemerintah menjaga stabilitas rupiah dalam satu tahun terakhir ini juga dinilai tak maksimal. Masalahnya kata dia, lantaran pasar sebenarnya tak memiliki kepercayaan kepada tim ekonomi pemerintah.
B. Faktor-faktor penyebab Krisis Ekonomi
     a. Krisis Ekonomi Periode I (Juli 1997 s/d bulan Oktober 1999).
       a) Krisis kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai  US dollar daripada rupiah dan akibatnya mereka berlomba-lomba menukar uang rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini disebabkan antara lain kurang transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Perlunya transparansi dalam konteks penggunaan anggaran belanja negara sangat diperlukan sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kita tidak akan mendapat kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat tindakan diambil akan lebih cepat pula kita menuai buah usaha kita.
     b) Krisis rupiah yang semula hanya bersifat kejutan dari luar (external shock) telah meluas menjadi krisis ekonomi yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan maupun rumah tangga. Fondasi perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat ternyata tidak menunjukkan ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis nilai rupiah terhadap US dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara struktural modal swasta berskala besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang dan lemahnya daya saing  di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak mempunyai kewibawaan yang memadai dalam mengatasi krisis ini.  Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena otoritas moneter juga melakukan kebijaksanaan uang ketat.  Akibatnya, baik pengusaha maupun rumah-tangga terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan pukulan akibat langkanya Rupiah.
    b. Krisis Ekonomi Periode ke II (Oktober 1999 s/d sekarang)
       a). Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid  bahwa apabila Memorandum II dikeluarkan  akan terjadi “pemberontakkan nasional” dan  bahwa lima daerah akan merdeka termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila dirinya mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan rasa ketakutan dari para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs rupiah terhadap US dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,-.
    b). Pemerintah terkesan ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para konglomerat penerima dana BLBI yang sampai sekarang belum diambil tindakan-tindakan kepada Marimuntu Sinivasan (Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan  Prajogo Pangestu. Padahal bukti-bukti yang bersangkutan merugikan keuangan negara sudah jelas. Alih-alih merasa bersalah malah ada dari anak perusahaan yang bersangkutan mengajukan kredit tambahan modal kepada bank pemerintah dengan alasan agar perusahaannya tetap jalan dan ribuan karyawannya dapat tetap bekerja. Rupanya korupsi model Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan untuk mengeruk uang Negara melalui perbankan .  
     Sedang tersangka korupsi lain seperti Faisal Abda’oe, David Nusa Wijaya, Syamsul Nursalim, Heru Soeprapto, Hendro Budiyanto, Samadikun Hartono, Kaharuddin Ongko, dan Praptono H Tjitroupoyo juga dilepas dari tahanan  Kejaksaan Agung. Tersangka korupsi Syamsul Nursalim sekarang ditahan dirumah sakit Medistra karena alasan sakit. Diketahui  yang bersangkutan setiap jam 03.00 WIB. malam keluar keluyuran meninggalkan rumah sakit.
    Hal-hal yang seperti inilah menambah ketidak percayaan rakyat terhadap Pemerintah  atas kesungguhan Pemerintah memberantas KKN. Seakan-akan para konglomerat tersebut kebal hukum padahal mereka nyata-nyata merugikan keuangan negara.
Jangan dikira cara-cara Kejaksaan Agung dalam mengusut para tersangka KKN tidak dipantau  oleh negara-negara donor. Ketidak mampuan pihak Kejaksaan Agung dalam menuntaskan pemberantasan KKN, turut memberikan andil kepada ketidakpercayaan lembaga-lembaga keuangan Internasioanl seperti IMF menunda mencairkan bantuannya kepada Indonesia.
    c. Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
     a) Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.  Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
     Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazarddan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
      b) Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi.Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
       c)  Yang ketiga, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

C. Dampak dari Krisis Ekonomi yang terjadi di Indonesia
    a) Pada 1 Agustus 1997, kurs rupiah melemah dari Rp 2.575,00 menjadi Rp 16.000,00, per dolar amerika akibat lemahnya sistem ekonomi Indonesia.  Hal ini menyebabkan hutang Indonesia membengkak.
    b) Rapuhnya fondasi perekonomian yang dibiayai dengan hutang sehingga mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan dan mendorong munculnya krisis Multi Dimensi
    c) Hancurnya pusat-pusat perekonomian di berbagai kota besar di Indonesia.
    d) Kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan.
    e) Terjadi berbagai bentuk penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat
    f) Terjadi beberapa aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia.
D. Upaya-Upaya Mengatasi Krisis Ekonomi di Indonesia
      Upaya yang dilakukan untuk mengatasi Krisis Ekonomi Sbb : 
    a) Transparansi Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat diperlukan agar mendapat kepercayaan  masyarakat.
   b) Meningkatkan accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
   c) Meningkatkan export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang konsumtif termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di import. Hal ini seyogyanya dilarang.

E. Kesimpulan
        Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangannya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama adanya krisis ekonomi  berkaitan erat dengan  :
a) Instabilitas politik  antara lain akibat adanya konflik antara lembaga eksekutif (Presiden) dengan lembaga legislatif (DPR-RI), yang  akhirnya  menimbulkan krisis konstitusi dan ketegangan politik di masyarakat luas.
b) Instabilitas keamanan  antara lain akibat adanya konflik bernuansa sara di Ambon/ Maluku, Poso dan Sampit., adanya gerakan separatisme GAM dan OPM serta meningkatnya perbuatan kriminalitas yang makin sadis. Hal ini sangat mengganggu.
c) Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah penyebab utama timbulnya krisis ekonomi yang     berkepanjangan. Sampai sekarang aparat Kejaksaan Agung belum berhasil menuntaskan kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Hasil pemeriksaan BPK tahun Anggaran 2000 di Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah termasuk di Bank Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan penyalahgunaan penggunaan keuangan negara oleh oknum-oknum Pejabat/Aparatur Pemerintah.

Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Ketiga Faktor Utama Penyebab Krisis Ekonomi Tersebut Antara Lain :
a) Segera menciptakan stabilitas politik dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk menyelesaikan krisis politik/krisis konstitusi. Sidang Istimewa MPR ini dapat digelar kapan saja sesuai dengan UUD 1945 Pasal 2 ayat 2. Penyelesaian krisis politik dengan jalan pembagian kekuasaan (power sharing), percepatan Pemilu, Dekrit Presiden atau pernyataan Negara dalam keadaan darurat tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan krisis politik baru yang semakin parah dan berkepanjangan yang tentunya akan menambah pula keterpurukan perekonomian Indonesia.
b) Pemerintah segera menciptakan stabilitas keamanan dengan tindakan-tindakan tegas dan arif  khususnya dalam menyelesaikan konflik yang bernuansa sara. Segera menetralisir gerakan-gerakan separatisme agar tetap berada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga penulisan artikel ini dapat bermanfaat sebagai wacana dan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Bangsa Indonesia ini sudah cukup lama  menderita akibat ulah oknum-oknum koruptor yang tidak bertanggung jawab yang menjarah kekayaan bangsa Indonesia baik berupa penjarahan keuangan negara diperbankan maupun pengurasan dan pengrusakan kekayaan alam Indonesia. Diharapkan Sidang Istimewa MPR mendatang dapat menghasilkan ketetapan-ketetapan/keputusan yang arif dan bijaksana untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas keamanan dan krisis ekonomi serta akar-akar penyebabnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRISIS EKONOMI DI AMERIKA SERIKAT

1.1    Latar Belakang Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara adidaya merupakan salah satu Negara maju yang perekonomian negaranya ...