Jumat, 07 April 2017

KRISIS EKONOMI DI AMERIKA SERIKAT

1.1  Latar Belakang
Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara adidaya merupakan salah satu Negara maju yang perekonomian negaranya mampu menguasai ekonomi dunia. Akibat AS banyak mengandalkan utang maka AS mengakibatkan krisis finansial besar-besaran. Krisis ekonomi di Amerika pertama kali terjadi pada tahun 1819, dikenal sebagai “Panic of 1819” krisis tersebut merupakan akhir dari ekspansi ekonomi  besar-besaran yang terjadi diseluruh dunia, setelah amerika perang melawan inggris dan memenangkannya.

Krisis ekonomi amerika selanjutnya terjadi pada tahun 1857, kali ini dikarenakan ekspansi bank yang mengucurkan utang salah satunya adalah bisnis trasnportasi kereta api, dan saat perusahan kereta api bangkrut karena tidak mendapatkan penumpang lagi dan tidak mampu bayar. Maka terjadilah krisis yang juga ditambah dari akibat sebuah perusahaan asuransi yang mengalami kebangkrutan dan gagal membayar utangnya senilai US$ 7 juta. Saat itu nilai tersebut adalah nilai yang sangat besar.
Selanjutnya krisis ekonomi amerika terjadi pada tahun 1930an atau yang biasa dikenal dengan sebutan“Great Depresson”.
2.1 Keadaan Ekonomi Amerika Serikat setelah perang Dunia 1
a.      Krisis Ekonomi
Ekonomi Amerika Serikat Pascaperang kembali tidak normal, akibatnya pekerja menjadi tidak puas dengan meningkatnya biaya hidup, jam kerja menjadi panjang, dan manajemen yang tidak punya rasa simpati. Tahun 1919, lebih dari 4 juta jiwa pekerja mengadakan aksi mogok. Pada tahun 1920 telah diadakan pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Partai Republik Warren G.Harding. kemudian pada waktu itu untuk menjaga kemakmuran yang ada dibuatlah kebijakan pemerintah yang sangat konservatif. Hal ini diyakini bahwa akan dapat membesarkan usaha swasta yang pada akhirnya mampu membesarkan usaha swasta dan meningkatkan kemakmuran.   Ledakan ekonomi yang terjadi seusai Perang Dunia 1 berupa aliran keuangan yang hancur secara dramatis dan banyak negara meninggalkan sistem gold standard untuk menggantinya dengan sistem floating currencies.
            Pada tahun 1920-an, setelah perang usai, terdapat usaha untuk mengembalika sistem gold standards. Sistem ini mampu menciptakan kondisi yang sangat menguntungkan bagi dunia industry di Amerika. Sepanjang tahun 1920, usaha swasta menerima dorongan yang substansial, termasuk pinjaman pembangunan, kontrak perantara yang menguntungkan, dan tunjangan langsung lainnya. Begitu juga kebijakan partai Republik di bidang pertanian mendapatkan kecaman besar karena para petani hanya mendapatkan sedikit kemakmuran bagi pertanian dan naiknya harga hasil pertanian. Hal ini disebabkan adanya permintaan akan produk pertanian Amerika yang tak terduga pada masa perang. Kemakmuran ini mendorong kuat para petani untuk berproduksi.
             Tetapi pada akhir 1920, permintaan masa perang yang berhenti mendadak, harga hasil pokok pertanian merosot tajam, hilangnya pasar luar negeri. Dengan begitu petani Amerika sulit menjual produk mereka di tempat yang Amerika tidak melakukan pembelian barang karena kebijakan tarif impornya sendiri. Perlahan-lahan pintu pasar dunia tertutup. Ketika terjadi depresi hebat (1930-an), harga hasil pertanian yang sudah lemah menjadi hancur.
            Undang-undang pajak tahun 1922 dan 1930 menjadikan nilai pajak masuk ke angka tertinggi. Yang kedua dari undang-undang Smooth-Hawley tahun 1930, menetapkan pungutan yang tinggi sehingga lebih dari 1000 pakar ekonomi meminta Presiden Herbert Hoover memvetonya. Depresi ekonomi 1929 ini dipicu  oleh jatuhnya bursa saham NYSE pada bulan oktober 1929 akibat ledakan spekulatif yang disebut Economic buble (gelembung Ekonomi).
 Kenaikan harga saham mengakibatkan terjadinya penjualan saham secara besar-besaran yang menyebabkan pasar saham runtuh dan indeks harga saham turun drastis. Instabilitas akibat depresi ini menghancurkan kondisi perekonomian Amerikia Serikat. Bahkan pengangguran semakin meningkat akibat ketidak mampuan pasar menyerap tenaga kerja dan daya beli masyarakat semakin menurun.
            Keadaan Sosial Ekonomi Amerika Serikat PraKrisis 1929, mengalami stagnansi dunia industri pada akhir tahun 1925, Kelebihan produksi di industri automobil pada tahun 1928. Kemudiaan peningkatan tingkat suku bunga dari 4,06% per tahun menjadi 7,6% per tahun pada tahun 1927. Hal ini disebabkan besarnya angka pembelian secara kredit yang tidak dibayarkan secara lancar dan juga besarnya modal milik orang-orang Amerika yang diinvestasikan di luar negeri.
            Peningkatan pola konsumsi masyarakat tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan, sementara masyarakat semakin banyak membeli barang-barang sekunder dengan sistem kredit. Akibatnya, kelebihan produksi yang kemudian membuat banyak barang tidak laku di pasaran. Hingga perekonomian Amerika Serikat pun memburuk dan mencapai puncak  pada saat jatuhnya nilai saham di Wallstreet pada tahun 1929.
            Pemerintah Amerika turut andil menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi 1929. Salah satunya adalah kebijakan proteksionisme (kebijakan melakukan perlindungan terhadap barang-barang produksi dalam negeri). Dalam kebijakan tersebut diberlakukan pajak yang sangat tinggi atas barang-barang import. Hal ini menimbulkan reaksi dari negara-negara lain yang kemudian turut menaikkan pajak yang tinggi atas barang-barang hasil produksi Amerika.
            Pihak bank nasional berusaha keras mengatasi krisis tersebut. Usaha yang dilakukan adalah dengan membeli saham-saham yang dijual tersebut dengan menggunakan cadangan uang bank yang merupakan dana masyarakat. Usaha tersebut tidak berjalan mulus karena ternyata sebagian besar nasabah menarik dana mereka dari bank sehingga bank pun tidak memiliki cadangan dana untuk menanggulangi krisis yang telah membuat perekonomian Amerika memburuk.
            Tepatnya pada hari Kamis, 24 Oktober 1929, nilai saham di Wall Street menurun drastis, yang mengakibatkan terjadinya “krach de Wall Street”. Pada hari tersebut, nilai saham di Wall Street sedang dalam keadaan yang tinggi sehingga banyak orang yang menjual sahamnya secara bersamaan. Terjadi 13 juta aksi penjualan saham secara bersamaan yang mengakibatkan jatuhnya harga saham.
            Krisis kelebihan produksi secara umum. Dalam bidang pertanian, krisis ini terlihat sebelum tahun 1929 dengan jatuhnya harga sejak tahun 1925-1926 di semua negara. Di bidang industri, krisis ini terjadi karena batas waktu pembayaran yang ditangguhkan pada tahun 1929 dengan alasan:
1.      Bertumpu pada metode yang beraneka ragam yang dilakukan untuk menstimulasi konsumsi, terutama dengan penjualan kredit (Amerika Serikat).
2.      Kebutuhan-kebutuhan yang dipenuhi masih tetap penting (kasus negara lain).  Namun suatu hari penawaran dari Amerika melebihi tingkat permintaan di wilayah Eropa padahal perekonomian Eropa sedang hancur karena perang.
            Tahun 1930-an terjadi krisis keuangan yang memicu runtuhnya sistem pinjaman dan gold standard. Selanjutnya , AS menggantikan Inggris sebagai kreditor bagi perekonomian dunia, dan kala itu dolar AS menjadi mata uang terkuat dan terpercaya di dunia internasional. Selanjutnya Penggunaan teknologi modern dan juga dukungan pemerintah yang kuat di sektor tersebut, dan tatanan sosial dan ekonomi yang baik di masyarakat menjadi faktor pendukung kejayaan Amerika Serikat.
            Industri Amerika pun mengalami kemajuan yang pesat bahkan 44% produksi batu bara dunia dikuasai oleh Amerika Serikat. Dengan kemapanan ekonominya Amerika Serikat mampu memberikan bantuan ekonomi kepada Eropa untuk bangkit kembali dari keterpurukannya pasca perang. Gaya hidup masyarakat yang menggemari sistem kredit, menginvestasi uang mereka dengan membeli saham dan pola hidup konsumtif pun menunjukkan kemakmuran negaranya.
            Dapat dikatakan Depresi besar atau Great Depression merupakan suatu peristiwa kemerosoton atau depresi ekonomi terparah yang khususnya melanda Amerika, namun juga berpengaruh pada negara-negara lain di berbagai penjuru dunia. Peristiwa ini terjadi di tahun 1929 hingga awal 1940, yang mana disebabkan karena:
1.      Perang Dunia I
Perang dunia  I bisa menjadi pendorong timbulnya Malise karena pada saat itu kondisi Negara-negara belum begitu stabil, sehingga menyebabkan Negara-negara yang terlibat dalam perang tersebut, belum sepenuhnya dapat mengontrol sistem perekonomian negaranya.
2.      Kegagalan bank (bank failures)
Sepanjang tahun 1930, kegagalan bank besar terjadi dan lebih dari 9.000 bank gagal. Sebagian besar deposito bank tidak diasuransikan. Akibatnya, sejumlah orang kehilangan tabungan mereka akibat kegagalan bank. Karena keadaan ekonomi yang tidak menentu dan masalah kelangsungan hidup bank, orang-orang tidak mau pergi untuk pinjaman baru. Pemerintah tidak lagi mampu memberikan jaminan terhadap simpanan yang terisisa,akibatnya bank dalam keadaan uninsured dan tidak lagi dapat memberikan pinjaman bagi nasabah. Keadaan ini semakin memperburuk situasi karena mayoritas masyarakat kehilangan uangnya, dan sehingga kesulitan ekonomi tidak hanya dirasakan oleh negara melainkan sudah berdampak pada masyarakat luas.

3.      Menurunnya daya beli masyarakat (Reduction in Purchasing)
            Adanya stock market crash dan hilangnya simpanan masyarakat di bank menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan bahkan masyarakat tidak mampu membeli barang. Inimenyebabkan perusahaan harus berhenti melakukan produksi, dan akibatnya para pekerja pundiberhentikan sehingga angka pengangguran ketika itu naik hingga 25%. Ini menyebabkan roda perekonomian tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dan keadaan depresi ekonomi pun semakin parah.

Depresi ini menghancurkan ekonomi baik negara industri maupun negara berkembang. Volume perdagangan internasional berkurang drastis, begitu pula dengan pendapatan perseorangan, pendapatan pajak, harga, turunnya daya beli, dan adanya penjualan saham secara masal sehingga mengakibatkan jatuhnya bursa saham.
Kota-kota besar diseluruh dunia terpukul, terutama kota yang pendapatannya bergantung pada industri berat. Kegiatan pembangunan gedung-gedung terhenti. Wilayah pedesaan yang hidup dari hasil pertanian juga tak luput terkena dampaknya karena harga produk pertanian turun 40 hingga 60 persen. Begitu pula dengan sektor primer lain seperti pertambangan dan perhutanan.
4.      Sistem kapitalisme yang menimbulkan over produksi
Malaise juga terjadi akibat perekonomian kapitalisme Amerika Serikat yang mengandung resiko besar karena ketergantungan tinggi terhadap pasar. Disinilah sumber konyradiksi utama dari kapitalisme, pasar bebas menyebabkan setiap orang bebas melakuan ekspansi ekonomi,namun pasar akan memilih yang terbaik, dalam artian yang bermutu bagus dan memiliki harga murah. Bagi produsen berarti tingkat efrisiensi dan efektisitas harus tinggi sehingga bisa menekan harga sehingga setiap produsen berpacu untuk berproduksi, Karena terjadi produksi masal, maka biaya produksi semakin turun, sehingga melahirkan hokum ekonomi “Penawaran akan menciptakan  permintaan” (Supply Side Economy). Keaadaan ini menguntugkan konsumen ( pemakai barang) karena bisa memilih barang yang terbaik dari banyak produsen yang menciptakan barang.  Namun keadaan ini mewlahirkan over produksi karena terlalu banyak barang yang diproduksi namun permintaan tak sebanding dengan barang yang ditawarkan.
Dengan demikian siklus penurunan ini terus berlanjut hingga sebagian populasi kehilangan pekerjaan mereka dan menyebabkan berkurangnya jumlah pendapatan nasional.
5.      Jatuhnya bursa saham
Sebelum over produksi yang terjadi pada tahun 1930, pada tahun 1929 bursa saham di seluruh dunia mengalami kemunduran sehingga mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi global yang memberikan dampak pada kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Kebalikan dari yang terjadi di Amerika pada tahun 1930, disini kegiatan produksi mengalami penurunan dan banyak kuli pabrik dan perkebunan harus mengalami kerugian karena pabrik dan perkebunan harus ditutup. Sehingga mengakibatkan banyaknya pengagguran.
Beberapa cara mulai ditempuh oleh pimpina-pimpinan Bank dengan membeli saham-saham ungulan namun, semua itu tidak berhasil hingga terjadi penjualan saham secara masal, total kerugian meningkat mencapai 30 Milyar Dollar AS.
Runtuhnya bursa saham mengakibatkan banyaknya  bank gulung tikar, pada awal tahun 1930 sebanyak 60 bank gulung tikar, kemudian pada bulan November sebanyak 244 bank dan pada bulan Desember 344 Bank.
Jatuhnya bursa saham pada bulan Oktober 1929 di Amerika atau yang lebih sering disebut  Black Tuesday disinyalir sebagai penyebab utama dari Great Depression. Peristiwa ini menyebabkan hampir seluruh pemegang saham mengalami kerugian yang ditaksir lebih dari empat milyar dolar Amerika. Pemerintah Amerika berusaha mengatasi dampak dari jatuhnya bursa saham dengan memaksa sebagian besar bank untuk tutup, akibatnya terjadi kepanikan yang efeknya tidak hanya dialami oleh penduduk Amerika melainkan sudah lintas negara. Kepanikan ini membuat masyarakat yang khawatir simpanan mereka di bank hilang berbondong-bondong mendatangi bank yang masih buka untuk dapat menarik uang simpanan mereka. Hal ini secara cepat berimbas pada terjadinya kebankrutan di sejumlah bank, dan terjadinya Great Depression diakhir 1930 tidak dapat terelakkan lagi. 
6.      Jatuhnya standar emas
Jatuhnya bstandar emas mempertajam terjadinya krisis ekonomi dunia karena di Austria standar emas mulai diberhentikan dan pada tahun 1933 mulai berlaku di berbagai Negara karena satndar emas tidak dapat ditukarkan secara bebas dan standar emas tidak dapat mengatasi krisis pembayaran yang hebat.dan emas juga digunakan untuk membayar hutang selama perang.
  
2.2  Hal-hal yang dicoba dilakukan oleh Negara-negara dalam mengatasi Malaisye
1.      Nasionalisme Ekonomi
Nasionalisme lebih mendalam dengan adanya Malaisye tersebut walau dapat menimbulkan rintangan terhadap perdagangan Internasional, walaupun semua sulit namun Negara-negara berusaha untuk mencoba menanamkan Nasionalisme Ekonomi. Tarf-tarif di Amerika dinaikan cukup tinggi, dan Negara lain mengadakan pembalasan untuk melindungi industrinya.
Bahkan di Inggris yang bergantung pada perdagangan luar negeri diadakan juga tarif-tarif yang diterapkan sistem imperial preperance.Dengan tumbuhnya sikap nasionalis menyebabkaqn perdagangan bilateral pun terganggu.
Jika terjadi perdagangan dengan Negara lain akan dikenakan peraturan-peraturan seperti politik proteksi,dumping ,subsidi yang lebih agresif.
2.      Berpikir  dalam melakukan tindakan sistem ekonomi
Dalam keadaad darurat tindakan cepat harus dilakukan berbagai Negara yaitu bantuan pemerintah untuk menolong pengangguran, melindungi industry-industri dalam negeri, mencegah terjadinya over produksi biasanya dengan kekuasaan pemerintah baik langsung maupun todak langsung.
Mengganti mekanisme standar emas yang tua untuk mempertahankan kurs valuta asing, Bank Sentral yang telah berkembang di beberapa Negara harus lebih ditingkatkan dan disempurnakan

3.1 Kesimpulan
Keberhasilan AS menjadi negara adidaya pada saat ini, salah satunya adalah karena gencarnya kegiatan percepatan pembangunan, dengan mengandalkan utang. Namun di masa lalu, AS pernah beberapa kali gagal dalam membayar utang, baik utang pemerintahnya maupun akumulasi dari utang-utang warganya, yang berlanjut pada krisis finansial besar-besaran.
Krisis pertama di AS terjadi pada tahun 1819, yang dikenal sebagai ‘Panic of 1819’. Krisis tersebut merupakan akhir dari ekpansi ekonomi besar-besaran yang terjadi di seluruh penjuru negeri, setelah AS memenangkan perang melawan Inggris pada tahun 1812. Pasca perang, didukung oleh kondisi politik yang kondusif, para bank lokal mulai memberikan pinjaman kepada para pekerja, pengusaha, dan siapapun yang hendak membangun rumah, tempat usaha, dan sebagainya. Ekonomi pun berkembang pesat. Namun masyarakat AS ketika itu lupa bahwa Pemerintah AS juga berhutang ke bank lokal untuk membiayai perangnya. Ketika kegiatan perekonomian mulai berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang dimulai dari menurunnya permintaan Eropa akan impor bahan makanan dari AS, maka ketika itulah para pengusaha mulai gagal membayar utangnya ke bank. Pemerintah AS sendiri tidak bisa menutupi utang-utang warganya, karena dia sendiri juga punya utang segunung. Alhasil, AS mengalami krisis ekonomi pertamanya, dimana puluhan bank terpaksa tutup, pengangguran merebak dimana-mana, dan ratusan orang dipenjara karena tidak mampu membayar utangnya.
Krisis ke dua terjadi pada tahun 1930-an, yang dikenal dengan ‘Great Depression’. Penyebabnya masih sama: utang. Pada krisis kali ini, utang tersebut mulai melibatkan pasar modal. Diawali dari kejatuhan pasar modal Wall Street pada bulan Oktober 1929, AS dirundung krisis ekonomi besar yang baru bisa pulih sekitar sepuluh tahun kemudian. Itupun berkat Perang Dunia II, dimana ekonomi AS ketika itu mulai bergerak kembali karena banyak perusahaan menerima pesanan senjata dan pesawat terbang dari negara-negara di Eropa.
Penyebab dari kejatuhan Wall Street tersebut tak lain adalah karena pasar modal AS mengalami bubble yang sangat parah sebelumnya. Sebelum terjadinya crash, saham-saham di Wall Street terus saja naik dengan cepat, hingga rata-rata PER pada saham-saham di indeks Standard & Poor’s sempat mencapai 32.6 kali, sangat mahal! Kenaikan harga saham yang terlalu cepat tersebut didorong oleh aksi sekuritas dan bank, yang memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada para investor dan trader, untuk terus membeli saham, termasuk dengan cara short selling. Ketika orang-orang mulai sadar bahwa harga-harga saham sudah terlalu mahal, maka mereka langsung menjual sahamnya, dan diikuti oleh para pelaku pasar lainnya yang panik, sehingga Wall Street langsung anjlok. Indeks saham paling terkemuka di AS, Dow Jones, terus saja turun hingga tahun 1932. Pada saat itu, Dow telah turun ke posisi 41.22, atau 89% lebih rendah dibanding posisi sebelum krisis.

Kamis, 06 April 2017

AWAL KRISIS PADA NEGARA YUNANI

*Awal Krisis Yunani Krisis ekonomi yang sangat dahsyat saat ini sedang melanda dunia barat. Uni Eropa saat ini sedang mengalami cobaan terberat dengan adanya krisis yang menjalar bagaikan api diseluruh sudut negara-negara anggotanya. Dimulai dari krisis ekonomi yang menimpa Yunani yang mengalami puncaknya pada tahun 2008 yang lalu. Krisis ekonomi yang dialami oleh Eropa kali ini hampir sama krisis yang sebelumnya pernah melanda Eropa pada tahun 1931, krisis ini mula-mula timbul di Austria, yang pada waktu itu sebagai pusat yang lemah dalam struktur politik-ekonomi Eropa, dan akibatnya krisis ini segera menjalar bagaikan api yang mengamuk, pertama-tama ke Jerman lalu ke Inggris, dan akhirnya mengganas ke seluruh dunia (Nussbaum, 1970). Jika menelaah krisis ekonomi yang pernah melanda Eropa pada waktu itu, akan terbayang bagaimana keadaan Yunani sekarang ini, keadaan Yunani tidak jauh berbeda dengan keadaan Austria pada waktu itu, dan jika keadaan ini tidak ditanggulangi dengan segera maka Italia,Spayol, dan Portugal juga akan menyusul Yunani dan begitu seterusnya. Krisis ekonomi dialami Yunani dalam dekade belakangan ini adalah krisis terparah yang pernah dialami oleh Uni Eropa pasca Perang Dunia II. Krisis ekonomi tidak hanya dialami oleh Yunani tetapi juga merebak ke negara – negara di Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, Spanyol dan Portugal. Bila dikaji dengan menggunakan teori konvensional mengenai krisis, Krisis yang terjadi di Yunani dapat terjadi akibat daripada kesalahan kesalahan kebijakan pemerintahan di masalalu. Menurut Salant dan Henderson (1978); Krugman (1979) ; Flood dan Garber (1984), Asumsi yang digunakan dalam model tersebut adalah negara dengan small open economy menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate).Model ini adalah First Dalam model ini dikemukakan bahwa pemerintah dalam menghadapi defisit neraca keuangan kemudian menggunakan cadangan devisa negara terbatas yang dimilikinya untuk melakukan penguatan terhadap mata uang lokalnya. Kebijakan ini akan menciptakan instabilitas perekonomian negara karena para spekulan akan melakukan pelepasan secara besar – besaran terhadap mata uang lokal saat cadangan devisa negara merosot tajam pada titik tertentu. Pada tahun 1974, Yunani memasuki babak baru pemerintahan, dari juntamiliter menjadi sosialis. Pemerintah baru ini kemudian mengambil banyak utang untuk membiayai subsidi, dana pensiun, gaji PNS, dll. Utang tersebut terus sajamenumpuk hingga pada tahun 1993, posisi utang Yunani sudah diatas GDP-nya, dansampai sekarang pun masih demikian. Saat ini utang Yunani diperkirakan telahmencapai 120% dari posisi GDP-nya, dimana banyak analis yang memperkirakan bahwadata yang sesungguhnya kemungkinan lebih besar dari itu. Hingga awal tahun 2000-an, tidak ada seorang pun yang memperhatikan fakta bahwa utang Yunani sudah terlalu besar. Malah dari tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per tahun, yang merupakan angka tertinggi dizona Eropa, hasil dari membanjirnya modal asing ke negara tersebut. Keadaan berbalik ketika pasca krisis global 2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor ekonomi utama Yunani yaitu sektor pariwisata dan perkapalan, justru mencatat penurunan pendapatan hingga 15%. Orang-orang pun mulai sadar bahwa mungkin ada yang salah dengan perekonomian Yunani. Keadaan semakin memburuk ketika pada awal tahun 2010, diketahui bahwa Pemerintah Yunani telah membayar Goldman Sachs dan beberapa bank investasi lainnya, untuk mengatur transaksi yang dapat menyembunyikan angka sesungguhnya dari jumlah utang pemerintah. Pemerintah Yunani juga diketahui telah mengutakatik data-data statistik ekonomi makro, sehingga kondisi perekonomian mereka tampak baik-baik saja, padahal tidak. Pada Mei 2010, Yunani sekali lagi ketahuan telah mengalami defisit hingga 13.6%. Salah satu penyebab utama dari defisit tersebut adalah banyaknya kasus penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 milyar per tahun. Ketika IMF memberikan pinjaman, IMF mengajukan beberapa syarat penghematan anggaran kepada Pemerintah Yunani. Diantaranya pemotongan tunjangan bagi PNS dan pensiunan, peningkatan pajak PPN hingga 23%, peningkatan cukai pada barang-barang mewah, bensin, rokok, dan minuman beralkohol, hingga perusahaan BUMN harus dikurangi dari 6,000 menjadi 2,000 perusahaan saja. Tentu saja kebijakan ini sangat sulit untuk diterapkan. Pada bulan yang sama, ketika Pemerintah Yunani mengumumkan kebijakan penghematan anggaran, rakyat Yunani langsung menggelar unjuk rasa besar-besaran di Athena untuk menolak kebijakan tersebut. Salah satu lembaga pemeringkat utang terkemuka, Moody’s, masih menetapkan rating utang Yunani pada salah satu level terendah, yaitu CCC. *Cara penanggulangan Krisi Yunani Yunani Capai Kesepakatan Dengan Kreditor Yunani bisa sedikit bernafas lega setelah capai kesepakatan dengan kreditor Eropa. Tapi pemerintahan di Athena harus menyepakati program reformasi dan penghematan lebih ketat untuk menyehatkan sistem keuangannya. Kesepakatan penting antara para kreditor Eropa dengan Yunani akhirnya tercapai Senin (13/7) pagi, setelah perundingan marathon antara PM Alexis Tsipras dengan kanselir Jerman, Angela Merkel, presiden Perancis, Francois Hollande dan presiden dewan Uni Eropa, Donald Tusk. Sebelumnya Yunani meggelar strategi perundingan tarik ulur yang alot selama beberapa bulan dengan donor Eropa. Tekanan lebih keras dari Eropa dan ancaman didepak dari zona Euro, memaksa Tsipras harus menelan semua persyaratan reformasi ketat yang diajukan donor Eropa. Dengan terobosan yang tercapai itu, Yunani kini bisa meeasa lega karena terhindar ancaman didepak dari zona mata uang Euro yang disebut dengan istilah Grexit. Untuk mengatasi krisis utang yang sudah menggunung, Yunani memerlukan dana talangan darurat tahap ketiga yang berjumlah sekitar 82 hingga 86 milyar Euro dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Yunani sudah berutang 240 milyar Euro kepada Troika Eropa dalam dua program kredit penyelamatan sebelumnya. Sebagai imbalan dari kesepakatan bailout tahap tiga itu, pemerintahan di Athena harus menyepakati program reformasi menyeluruh dan penghematan lebih ketat untuk menyehatkan sistem keuangannya. PM Yunani, AlexisTsipras harus melakukan reformasi dramatis di sektor pasar, sistem perbankan, dana pensiun serta swastanisasi. Semua peryaratan dari kreditor Eropa itu harus disepakati parlemen di Athena selambatnya Rabu (15/7) Tanpa bantuan darurat dari donor Eropa, sistem keuangan dan ekonomi Yunani dipastikan akan ambruk. Sejauh ini Yunani sudah berutang sekitar 320 milyar Euro kepada donor Eropa. Pekan silam Athena juga dinyatakan default karena tidak mampu membayar cicilan utang yang sudah jatuh tempo kepada Dana Moneter Internasional. Skeptisme merebak Walau telah tercapai kesepakatan, sejumlah kepala negara anggota zona Euro menyatakan skeptismenya terkait keseriusan pemerintahan PM Tsipras. Terutama kanselir Jerman, Angela Merkel sudah secara terbuka melontarkan ketidak percayaannya terhadap pemerintahan di Athena saat ini. "Jerman mengharapan persetujuan mayoritas dari parlemen di Athena, sebelum membahas paket reformasi Yunani itu di parlemen Jerman-Bundestag di Berlin", ujar Merkel. Ketua kelompok negara pengguna mata uang Euro, Jeroen Dijsselbloem juga melontarkan skeptisme senada setelah perundingan marathon di Brussel. "Kami mendiskusikan masalah kepercayaan dan kredibilitas trekait bantuan keuangan", ujar ketua grup Euro asal Belanda itu. "Tapi harus diakui perundingan amat alot dan sulit", tambah Dijsselbloem. Menanggapi terobosan "deal" dengan negara pemberi utang Eropa itu, PM Tsipras mengatakan kami siap bertanggung jawab pada keputusan reformasi dan penghematan anggaran lebih ketat. "Kami akan berupaya mencegah arus transfer aset Yunani ke luar negeri dan juga mencegah ambruknya sistem perbankan di Yunani". *Dampak Krisis utang Yunani akan berpengaruh ke perekonomian Indonesia melalui pelemahan nilai tukar rupiah akibat menguatnya mata uang dollar Amerika Serikat. Jika pelemahan rupiah terus berlanjut, beban sektor industri akan semakin berat karena sebagian besar input produksi berasal dari impor. Rakyat Yunani yang berpartisipasi dalam referendum akhirnya menolak proposal penghematan yang diajukan oleh kreditor internasional sebagai kompensasi untuk menalangi pembayaran utang dengan memberikan utang baru. Sebanyak 61,31 persen rakyat Yunani menyatakan penolakan melalui referendum itu. Pemerintah Yunani menggelar referendum setelah dinyatakan sebagai negara gagal bayar oleh Dana Moneter Internasional (IMF) setelah tidak mampu melunasi utang yang jatuh tempo per 30 Juni 2015 sebesar 1,6 miliar euro kepada sejumlah kreditor. Hasil referendum itu kemudian memperlemah mata uang euro yang dipakai sebagai mata uang tunggal oleh negara-negara anggota di kawasan Eropa. Pelemahan euro kemudian mendorong penguatan mata uang dollar AS. Ekonom Bank Danamon, Dian Ayu Yustina, Selasa (7/7/2015), menuturkan, dampak krisis utang Yunani ke Indonesia memang hanya akan lewat kurs dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). "Dampak melalui perdagangan internasional sangat kecil karena ekspor dan impor Indonesia dengan Yunani kecil," kata Dian. IHSG pada perdagangan Selasa dibuka pada level 4.918,29, menguat dari penutupan perdagangan pada Senin di level 4.916,74. Namun, hingga perdagangan siang, IHSG cenderung melemah, bahkan sempat menyentuh level 4.891,05. IHSG pun ditutup melemah 10,69 poin (0,22 persen) pada 4.906,05. Adapun nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 13.313 per dollar AS menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia dari hari sebelumnya Rp 13.353 per dollar AS. Sementara di pasar spot naik ke posisi Rp 13.330 per dollar AS dibanding sebelumnya pada 13.347. Walaupun transmisi krisis utang Yunani hanya akan melalui kurs dan IHSG, Indonesia tetap harus mewaspadainya. "Kalau pelemahan nilai tukar berlanjut, beban sektor industri akan makin berat karena sebagian besar bahan baku berasal dari impor," kata Dian. Input industri nasional masih tergantung dari bahan baku impor karena industri penghasil bahan baku di dalam negeri belum berkembang. Pelemahan nilai tukar rupiah menyebabkan biaya bahan baku dalam denominasi rupiah meningkat karena dibeli menggunakan valuta asing. Namun, industri pengolahan akan kesulitan menaikkan harga produk jadi karena saat ini daya beli masyarakat sedang melemah karena pelambatan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, Indonesia juga tidak bisa memanfaatkan pelemahan nilai tukar rupiah untuk menggenjot ekspor. Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas dibandingkan dengan ekspor manufaktur. Padahal, permintaan komoditas di pasar global sedang turun karena pelambatan ekonomi dunia. Akibatnya, harga komoditas jatuh. "Dampak krisis Yunani ke IHSG hanya bersifat sementara karena hanya merupakan sentimen. Dampak yang lebih besar akan terjadi pada rupiah," kata Dian. Terkait dengan rupiah, BI berulang kali menyatakan bahwa mereka akan tetap berada di pasar uang untuk stabilisasi nilai tukar. BI akan mengintervensi pasar dengan memasok dollar AS. Saat ini, cadangan devisa tercatat 110,771 miliar dollar AS, masih sangat cukup untuk menjaga nilai tukar rupiah. Ekonom pasar global Bank Permata, Joshua Pardede, menuturkan, dampak krisis Yunani terhadap nilai tukar tidak akan lebih besar daripada normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS, The Fed. "Normalisasi kebijakan moneter The Fed dan pelemahan ekonomi Tiongkok sangat besar pengaruhnya pada perekonomian nasional. Kalau isu Yunani, dampaknya lebih kecil dan terbatas pada nilai tukar dan harga saham saja karena Yunani bukan mitra dagang dan investasi yang signifikan bagi Indonesia," kata Joshua. Isu mengenai keluarnya Yunani dari kawasan pengguna mata uang tunggal euro, menurut Joshua, juga hanya akan bersifat jangka pendek. Ini terutama hanya akan berpengaruh pada terus melemahnya nilai tukar euro terhadap dollar AS.

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA PADA ZAMAN ORDE BARU


KRISIS EKONOMI DI INDONESIA


A. Krisis Ekonomi di Zaman Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila) 
     Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November 1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi.

Kerusuhan serta penjarahan massal menjadi sejarah kelam Indonesia

Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Krisis Moneter, Indikatornya :
    a. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat,
    b. Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative,
    c. L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional,
    d. Uang beredar terus meningkat.
2. Krisis Perbankan, Indikatornya :
    a. Likuidasi bank ditutup,
    b. Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank,
    c. Bank beku operasi dan bank take over,
    d. Utang luar negeri yang membengkak,
3. Krisis Ekonomi, Indikatornya :
    a. Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
    b. Stagnasi di sector riil
    c. Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
    d. PHK di berbagai sector riil.
                Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama. Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966. Selain itu, buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987). Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972. Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978. Bulan September 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet, serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.
       Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.



        Bank yang baik.Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketikarupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengPada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektoran pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
      Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang ‘pulang kampung’. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di dunia yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang terjadi. Berikut rangkumannya seperti dikutip :
1. Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)
      Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu. Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang membuat rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar,” tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.
2. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250
           Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu ‘perkasa’ terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp 13.250/US$.
3. Dollar menyentuh Rp  14.300
         Pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai melorotnya nilai tukar rupiah hingga di atas 14.000 per dollar AS tak hanya disebabkan faktor eksternal tetapi juga internal. Menurutnya, faktor internal tersebut yaitu belum dipercayainya tim ekonomi pemerintah oleh pasar.
"Tim ekonomi pemerintahah baru yang tidak bisa meyakinkan publik dan pasar secara khusus. Dengan tim seperti ini meskipun pemilu berhasil dan ekonom-ekonom bilang rupiah akan kuat menjadi Rp 10.000 per dollar AS apabila Jokowi terpilih, tetapi karena tim ekonomi tidak meyakinkan maka rupiah terus merosot," ujar Didik saat dihubungi Kompas.com, Senin (24/8/2015).
Selain itu, respons pemerintah menjaga stabilitas rupiah dalam satu tahun terakhir ini juga dinilai tak maksimal. Masalahnya kata dia, lantaran pasar sebenarnya tak memiliki kepercayaan kepada tim ekonomi pemerintah.
B. Faktor-faktor penyebab Krisis Ekonomi
     a. Krisis Ekonomi Periode I (Juli 1997 s/d bulan Oktober 1999).
       a) Krisis kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai  US dollar daripada rupiah dan akibatnya mereka berlomba-lomba menukar uang rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini disebabkan antara lain kurang transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Perlunya transparansi dalam konteks penggunaan anggaran belanja negara sangat diperlukan sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kita tidak akan mendapat kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat tindakan diambil akan lebih cepat pula kita menuai buah usaha kita.
     b) Krisis rupiah yang semula hanya bersifat kejutan dari luar (external shock) telah meluas menjadi krisis ekonomi yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan maupun rumah tangga. Fondasi perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat ternyata tidak menunjukkan ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis nilai rupiah terhadap US dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara struktural modal swasta berskala besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang dan lemahnya daya saing  di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak mempunyai kewibawaan yang memadai dalam mengatasi krisis ini.  Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena otoritas moneter juga melakukan kebijaksanaan uang ketat.  Akibatnya, baik pengusaha maupun rumah-tangga terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan pukulan akibat langkanya Rupiah.
    b. Krisis Ekonomi Periode ke II (Oktober 1999 s/d sekarang)
       a). Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid  bahwa apabila Memorandum II dikeluarkan  akan terjadi “pemberontakkan nasional” dan  bahwa lima daerah akan merdeka termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila dirinya mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan rasa ketakutan dari para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs rupiah terhadap US dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,-.
    b). Pemerintah terkesan ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para konglomerat penerima dana BLBI yang sampai sekarang belum diambil tindakan-tindakan kepada Marimuntu Sinivasan (Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan  Prajogo Pangestu. Padahal bukti-bukti yang bersangkutan merugikan keuangan negara sudah jelas. Alih-alih merasa bersalah malah ada dari anak perusahaan yang bersangkutan mengajukan kredit tambahan modal kepada bank pemerintah dengan alasan agar perusahaannya tetap jalan dan ribuan karyawannya dapat tetap bekerja. Rupanya korupsi model Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan untuk mengeruk uang Negara melalui perbankan .  
     Sedang tersangka korupsi lain seperti Faisal Abda’oe, David Nusa Wijaya, Syamsul Nursalim, Heru Soeprapto, Hendro Budiyanto, Samadikun Hartono, Kaharuddin Ongko, dan Praptono H Tjitroupoyo juga dilepas dari tahanan  Kejaksaan Agung. Tersangka korupsi Syamsul Nursalim sekarang ditahan dirumah sakit Medistra karena alasan sakit. Diketahui  yang bersangkutan setiap jam 03.00 WIB. malam keluar keluyuran meninggalkan rumah sakit.
    Hal-hal yang seperti inilah menambah ketidak percayaan rakyat terhadap Pemerintah  atas kesungguhan Pemerintah memberantas KKN. Seakan-akan para konglomerat tersebut kebal hukum padahal mereka nyata-nyata merugikan keuangan negara.
Jangan dikira cara-cara Kejaksaan Agung dalam mengusut para tersangka KKN tidak dipantau  oleh negara-negara donor. Ketidak mampuan pihak Kejaksaan Agung dalam menuntaskan pemberantasan KKN, turut memberikan andil kepada ketidakpercayaan lembaga-lembaga keuangan Internasioanl seperti IMF menunda mencairkan bantuannya kepada Indonesia.
    c. Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
     a) Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.  Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
     Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazarddan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
      b) Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi.Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
       c)  Yang ketiga, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

C. Dampak dari Krisis Ekonomi yang terjadi di Indonesia
    a) Pada 1 Agustus 1997, kurs rupiah melemah dari Rp 2.575,00 menjadi Rp 16.000,00, per dolar amerika akibat lemahnya sistem ekonomi Indonesia.  Hal ini menyebabkan hutang Indonesia membengkak.
    b) Rapuhnya fondasi perekonomian yang dibiayai dengan hutang sehingga mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan dan mendorong munculnya krisis Multi Dimensi
    c) Hancurnya pusat-pusat perekonomian di berbagai kota besar di Indonesia.
    d) Kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan.
    e) Terjadi berbagai bentuk penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat
    f) Terjadi beberapa aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia.
D. Upaya-Upaya Mengatasi Krisis Ekonomi di Indonesia
      Upaya yang dilakukan untuk mengatasi Krisis Ekonomi Sbb : 
    a) Transparansi Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat diperlukan agar mendapat kepercayaan  masyarakat.
   b) Meningkatkan accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
   c) Meningkatkan export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang konsumtif termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di import. Hal ini seyogyanya dilarang.

E. Kesimpulan
        Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangannya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama adanya krisis ekonomi  berkaitan erat dengan  :
a) Instabilitas politik  antara lain akibat adanya konflik antara lembaga eksekutif (Presiden) dengan lembaga legislatif (DPR-RI), yang  akhirnya  menimbulkan krisis konstitusi dan ketegangan politik di masyarakat luas.
b) Instabilitas keamanan  antara lain akibat adanya konflik bernuansa sara di Ambon/ Maluku, Poso dan Sampit., adanya gerakan separatisme GAM dan OPM serta meningkatnya perbuatan kriminalitas yang makin sadis. Hal ini sangat mengganggu.
c) Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah penyebab utama timbulnya krisis ekonomi yang     berkepanjangan. Sampai sekarang aparat Kejaksaan Agung belum berhasil menuntaskan kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Hasil pemeriksaan BPK tahun Anggaran 2000 di Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah termasuk di Bank Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan penyalahgunaan penggunaan keuangan negara oleh oknum-oknum Pejabat/Aparatur Pemerintah.

Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Ketiga Faktor Utama Penyebab Krisis Ekonomi Tersebut Antara Lain :
a) Segera menciptakan stabilitas politik dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk menyelesaikan krisis politik/krisis konstitusi. Sidang Istimewa MPR ini dapat digelar kapan saja sesuai dengan UUD 1945 Pasal 2 ayat 2. Penyelesaian krisis politik dengan jalan pembagian kekuasaan (power sharing), percepatan Pemilu, Dekrit Presiden atau pernyataan Negara dalam keadaan darurat tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan krisis politik baru yang semakin parah dan berkepanjangan yang tentunya akan menambah pula keterpurukan perekonomian Indonesia.
b) Pemerintah segera menciptakan stabilitas keamanan dengan tindakan-tindakan tegas dan arif  khususnya dalam menyelesaikan konflik yang bernuansa sara. Segera menetralisir gerakan-gerakan separatisme agar tetap berada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga penulisan artikel ini dapat bermanfaat sebagai wacana dan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Bangsa Indonesia ini sudah cukup lama  menderita akibat ulah oknum-oknum koruptor yang tidak bertanggung jawab yang menjarah kekayaan bangsa Indonesia baik berupa penjarahan keuangan negara diperbankan maupun pengurasan dan pengrusakan kekayaan alam Indonesia. Diharapkan Sidang Istimewa MPR mendatang dapat menghasilkan ketetapan-ketetapan/keputusan yang arif dan bijaksana untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas keamanan dan krisis ekonomi serta akar-akar penyebabnya.  

KRISIS FINANSIAL ASIA 1997
Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand (dikenal dengan nama krisis Tom Yam Gung di Thailand; Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh. Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun, bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis.

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Cina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, namun sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang-PDB asing naik dari 100% menjadi 167% di empat negara ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang-ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.

Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai $40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan massa yang memprotes kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih.Setelah krisis tahu 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan.

Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai "keajaiban ekonomi Asia".

Gelembung kredit dan nilai tukar tetap
Penyebab krisis ini masih diperdebatkan. Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh dana panas. Seiring membesarnya gelembung, semakin banyak pula dana yang diperlukan. Situasi serupa terjadi di Malaysia dan Indonesia melalui "kapitalisme kroni".Arus modal jangka pendek mahal dan dirancang untuk meraup untung cepat. Dana pembangunan tersalurkan secara tak terkendali ke orang-orang tertentu saja, bukan orang yang pantas atau layak, melainkan orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit akun berjalan swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar keterpaparan risiko valuta asing di sektor keuangan dan perusahaan.

Pada pertengahan 1990-an, serangkaian goncangan luar negeri mulai mengubah tatanan ekonomi. Devaluasi renminbi Cina dan yen Jepang setelah Perjanjian Plaza 1985, kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang memperkuat nilai dolar A.S., dan penurunan harga semikonduktor menghambat pertumbuhan ekonomi. Seiring pulihnya ekonomi Amerika Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga A.S. untuk menurunkan inflasi.

Keputusan ini menjadikan Amerika Serikat negara yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Asia Tenggara. Asia Tenggara menerima arus dana panas berkat suku bunga jangka pendek yang tinggi dan tingginya nilai dolar Amerika Serikat. Bagi negara-negara Asia Tenggara yang mata uangnya dijangkarkan ke dolar A.S., nilai dolar A.S. yang lebih tinggi membuat harga barang ekspornya lebih mahal dan kurang bersaing di pasar global. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi akun berjalannya.

Sejumlah ekonom menyebut pertumbuhan ekspor Cina sebagai salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor negara-negara ASEAN. Namun demikian, para ekonom yang sama juga menyebut spekulasi properti berlebiihan sebagai penyebab utamanya. Cina mulai bersaing secara efektif dengan negara-negara pengekspor di Asia pada tahun 1990-an setelah diterapkannya beberapa reformasi berorientasi ekspor. Ekonom lainnya mempertanyakan dampak Cina dan mengatakan bahwa ASEAN dan Cina mengalami pertumbuhan ekspor yang pesat pada awal 1990-an.

Banyak ekonom yang meyakini bahwa krisis Asia tercipta bukan karena psikologi pasar atau teknologi, melainkan kebijakan yang mengubah insentif dalam hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Besarnya pinjaman yang tersedia lewat kebijakan ini menciptakan ekonomi yang nilainya sangat terdongkrak (leveraged). Harga aset pun naik ke tingkat yang sangat rentan. Harga aset akhirnya jatuh dan membuat individu dan perusahaan tidak mampu membayar obligasi utang.

Kepanikan pemberi pinjaman dan penarikan kredit

Kepanikan yang terjadi di kalangan pemberi pinjaman memicu penarikan kredit besar-besaran dari negara yang mengalami krisis. Tindakan ini mengakibatkan penyusutan kredit dan kebangkrutan. Selain itu, ketika investor asing berusaha menarik uangnya, pasar valas dibanjiri oleh mata uang negara yang mengalami krisis sehingga memaksa depresiasi terhadap nilai tukarnya. Demi mencegah jatuhnya nilai mata uang, negara-negara yang mengalami krisis menaikkan suku bunga dalam negeri sampai puncaknya (mengurangi pelarian modal dengan membuat pemberian pinjaman lebih menarik bagi investor) dan turun tangan mencampuri pasar valas, membeli mata uang domestik berlebih apapun dalam nilai tukar tetap dengan cadangan valuta asing. Tak satu pun kebijakan yang dampaknya bertahan lama.

Selain mengacaukan ekonomi yang sehat-sehat saja, suku bunga terlampau tinggi juga mampu mengacaukan ekonomi negara rapuh. Di sisi lain, bank sentral semakin kehabisan cadangan mata uang asing yang jumlahnya terbatas. Ketika semakin jelas bahwa arus keluarnya modal dari negara-negara tersebut tidak dapat dihentikan, pemerintah menghentikan penerapan nilai tukar tetap dan mengizinkan mata uangnya mengambang. Nilai mata uang yang terdepresiasi berarti bahwa utang bermata uang asing terus bertambah dalam nilai mata uang nasional. Hal ini memicu kebangkrutan dan memperparah krisis.

Ekonom seperti Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs mengabaikan peran ekonomi riil dalam krisis ini dibandingkan dengan pasar keuangan. Laju cepat krisis ini membuat Sachs dan ekonom lainnya membandingkannya dengan fenomena penarikan massal (bank run) yang dipicu oleh goncangan risiko mendadak. Sachs menyalahkan kebijakan moneter ketat dan kebijakan kontraksi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah atas saran IMF setelah krisis, sedangkan Frederic Mishkin menyalahkan informasi asimetris dalam pasar keuangan yang menciptakan "mental ikut-ikutan" di kalangan investor yang membesar-besarkan risiko kecil dalam ekonomi riil. Krisis ini menarik perhatian para ekonom perilaku yang sedang mempelajari psikologi pasar.

Salah satu dugaan penyebab goncangan risiko yang mendadak adalah penyerahan kedaulatan Hong Kong tanggal 1 Juli 1997. Sepanjang 1990-an, dana panas masuk Asia Tenggara lewat penghubung keuangan seperti Hong Kong. Para investor abai dengan profil risiko negara tujuan investasinya. Setelah krisis menerpa kawasan tersebut, diperparah dengan ketidakpastian politik terkait masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia, banyak investor yang memutuskan untuk keluar dari Asia. Menyusutnya investasi malah memperparah kondisi keuangan di Asia dan mendorong depresiasi baht Thailand pada tanggal 2 Juli 1997.

Ada beberapa studi kasus terkait topik ini, misalnya penerapan analisis jaringan sistem keuangan yang menjelaskan kesalingterhubungan pasar keuangan dan pentingnya kelayakan penghubung atau titik utama. Eksternalitas negatif apapun di dalam penghubung menciptakan riak yang bergerak ke seluruh sistem keuangan dan ekonomi .

Menteri luar negeri dari 10 negara ASEAN yakin bahwa manipulasi mata uang direncankaan dengan sengaja untuk menggoyahkan ekonomi ASEAN. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menuduh George Soros mengacaukan ekonomi Malaysia melalui "spekulasi mata uang besar-besaran". Soros mengaku membeli ringgit saat nilainya jatuh dan melakukan jual kosong pada tahun 1997.

Pada Pertemuan Menteri ASEAN ke-30 di Subang Jaya, Malaysia, tanggal 25 Juli 1997, menteri luar negeri seluruh ASEAN mengeluarkan deklarasi bersama yang meminta penguatan kerja sama ASEAN untuk mempertahankan dan mengutamakan kepentingan ASEAN di bidang ekonomi. Pada hari yang sama, kepala bank sentral dari seluruh negara yang terdampak krisis bertemu di EMEAP (Executive Meeting of East Asia Pacific) di Shanghai. Mereka gagal menyepakati New Arrangement to Borrow. Satu tahun sebelumnya, menteri keuangan dari negara-negara yang sama menghadiri pertemuan menteri keuangan APEC ke-3 di Kyoto, Jepang, tanggal 17 Maret 1996. Menurut deklarasi bersama tersebut, mereka tidak mampu menggandakan jumlah dana cadangan General Agreements to Borrow dan Emergency Finance Mechanism.

Krisis ini dapat dipandang sebagai kegagalan membangun kapastias untuk mencegah manipulasi mata uang. Hipotesis ini tidak banyak didukung oleh para ekonom. Mereka berpendapat bahwa tak satu investor pun yang mampu memengaruhi pasar dengan cara memanipulasi nilai mata uang. Selain itu, butuh perencanaan yang sangat besar untuk menarik investor dari Asia Tenggara agar bisa memanipulasi nilai mata uangnya.

KRISIS EKONOMI DI AMERIKA SERIKAT

1.1    Latar Belakang Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara adidaya merupakan salah satu Negara maju yang perekonomian negaranya ...